SAMBAS, JEJARING KALBAR – Seorang mantan pejabat pemerintah desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, mengungkapkan dugaan praktik “industri hukum” yang melibatkan oknum Aparat Penegak Hukum (APH).
Dalam wawancara eksklusif dengan Jejaring Kalbar, ia membeberkan pengalaman pribadinya saat menghadapi kasus hukum, yang menurutnya sarat dengan negosiasi dan kepentingan tertentu.
Tim redaksi Jejaring Kalbar telah merekam seluruh pernyataannya sebagai bukti, tetapi narasumber meminta identitasnya dirahasiakan.
“Saya ini contoh nyata bahwa praktik jual beli dan negosiasi dalam penanganan kasus hukum memang terjadi di Kabupaten Sambas. Itu dilakukan oleh oknum APH, bukan sekadar isu,” ujarnya, Rabu (26/2/2025).
Mantan pejabat desa yang pernah terseret kasus korupsi ini mengungkapkan bahwa sejak awal proses penyelidikan, ia beberapa kali dipanggil untuk klarifikasi. Saat itulah terjadi negosiasi yang menurutnya abu-abu, dilakukan oleh seorang oknum APH berinisial A.
“Saya masih ingat, A menelepon saya dengan nomor berbeda. Tapi dari foto profilnya, saya tahu itu staf di kantornya. Dia meminta Rp30 juta agar kasus saya dihentikan. Setelah negosiasi, jumlahnya turun menjadi Rp25 juta. Saat itu, kalau saya mau membayar, mungkin saya tidak akan dipenjara,” katanya.
Menurutnya, praktik semacam ini sudah menjadi pola yang sistematis, dilakukan secara terstruktur di dalam institusi penegak hukum.
“Saya bicara seperti ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Tapi banyak yang masih berpikir praktik seperti ini tidak ada di Sambas. Faktanya, saya mengalaminya sendiri. Jadi, kalau ada yang mengaku bekerja jujur, tapi kenyataannya berbeda, itu kemunafikan,” tegasnya.
Lagi-lagi Negosiasi oleh Oknum APH Inisial A
Untuk mengonfirmasi pernyataan tersebut, Jejaring Kalbar juga mewawancarai seorang mantan karyawan BUMN di Sambas yang pernah tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang.
Ia membenarkan bahwa oknum APH yang sama juga pernah menawarkan “negosiasi” kepada keluarganya agar hukumannya diringankan.
“Itu memang terjadi. Tapi membuktikannya sulit karena banyak pihak yang bisa tersinggung,” ujarnya.
Peringatan Mahfud MD soal “Industri Hukum”
Fenomena ini bukan hal baru. Pada akhir 2019, Menkopolhukam Mahfud MD pernah mengungkapkan adanya modus “industri hukum” di Indonesia, di mana penegakan hukum dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan tertentu.
“Sekarang ini, banyak praktik yang bukan lagi penegakan hukum, tapi industri hukum. Aparat mencari kesalahan seseorang, lalu orang yang bersalah diatur agar bisa terbebas,” kata Mahfud, dikutip dari Tempo, Selasa (3/12/2019).
Ia juga menyoroti kasus-kasus di mana keputusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung (MA) masih bisa digugat secara pidana oleh oknum tertentu, sehingga eksekusi hukum bisa dibelokkan.
“Hukum perindustrian itu ada, tetapi perindustrian hukum tidak boleh terjadi jika kita ingin negara ini baik dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Kasus dugaan negosiasi hukum di Kabupaten Sambas ini menjadi gambaran bagaimana praktik semacam itu bisa terjadi di tingkat daerah. Hal ini menegaskan pentingnya pengawasan ketat terhadap APH serta transparansi dalam sistem peradilan. ***
Penulis: Ya’ M. Nurul Anshory