SAMBAS, JEJARING KALBAR – Masyarakat adat di Kecamatan Sajingan Besar menghadapi dua persoalan utama terkait lahan: status permukiman yang masuk dalam kawasan hutan lindung serta penguasaan lahan oleh perusahaan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU).
Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar, Jamel, menyampaikan bahwa banyak warga tinggal di kawasan yang berstatus hutan lindung, taman wisata alam (TWA), area penggunaan lain (APL), hutan produksi (HP), dan hutan produksi terbatas (HPT).
Kondisi ini membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati.
“Di Desa Sungai Bening, misalnya, ada kawasan TWA, hutan lindung, dan APL. Desa Sanatab juga masuk dalam hutan lindung dan APL. Sementara itu, Desa Kaliau memiliki area APL, hutan lindung, HP, dan HPT, sedangkan sebagian wilayah Desa Sebunga juga masuk kategori APL,” jelas Jamel, Senin 10 Maret 2025.
Ia berharap pemerintah, khususnya Presiden Republik Indonesia, segera membebaskan kawasan permukiman, kampung, dan lahan pertanian masyarakat dari status hutan lindung dan sejenisnya.
Menurutnya, masyarakat adat di Sajingan Besar telah lama hidup dan mengelola tanah tersebut, tetapi hingga kini belum memiliki sertifikat hak milik karena status kawasan yang menghambat.
Selain itu, Jamel juga menyoroti perusahaan perkebunan, terutama kelapa sawit, yang beroperasi tanpa izin HGU dan mencaplok lahan masyarakat adat.
“Kami meminta pemerintah memastikan bahwa perusahaan yang menguasai lahan di luar izin HGU segera mengembalikan lahan tersebut kepada masyarakat adat. Ini adalah hak asal-usul dan hak ulayat yang harus dihormati,” tegasnya.
Masyarakat yang hidup berdampingan dengan perkebunan, lanjut Jamel, hingga kini belum merasakan manfaat kemitraan, koperasi, maupun kompensasi yang seharusnya diberikan oleh perusahaan kepada warga sekitar.
“Kami ingin kejelasan dan kepastian. Masyarakat adat berhak atas tanah mereka,” pungkasnya. (Sera)